JAKARTA, investor.id - Besarnya cadangan batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menjadi faktor positif di tengah peningkatan permintaan energy dunia yang diperkirakan berlanjut. Hal itu seiring perekonomian global yang diyakini membaik pada 2021. Dalam jangka panjang, kinerja Adaro juga bakal didukung oleh diversifikasi usaha.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan mengungkapkan, Adaro Energy merupakan perusahaan pertambangan batu bara dengan cadangan terbesar.
“Cadangan yang besar ini akan menjadi keunggulan kompetitif bagi perseroan dalam jangka panjang,” tulis dia dalam risetnya.
Dengan mengasumsikan produksi batu bara perseroan yang mencapai 52 juta ton per tahun, jangka waktu penambangan (life time) tambang perseroan lebih dari 20 tahun.
Adaro juga memiliki mesin pertumbuhan ke depan, yaitu tambang batu bara Kestrel di Australia. Hal itu menjadi nilai tambah bagi perseroan.
![Salah satu proyek pertambangan Adaro. Foto: DEFRIZAL](https://img.beritasatu.com/cache/investor/798x449-2/1579655920.jpg)
Andy memprediksi harga jual batu bara pada kisaran US$ 70 per ton pada 2021 dan diharapkan meningkat menjadi US$ 75 per ton pada 2022. Namun, tren kenaikan harga jual tersebut tidak diimbangi dengan produksi yang stabil. Hal itu membuat estimasi kinerja keuangan Adaro Energy pada 2021 dan 2022 lebih rendah dari perkiraan semula.
Volume produksi batu bara perseroan tahun 2021 direvisi turun dari 54 juta ton menjadi 52 juta ton. Sedangkan harga jual diperkirakan bertahan pada level US$ 70 per ton. Dengan asumsi tersebut, perkiraan pendapatan perseroan tahun 2021 diturunkan dari US$ 2,68 miliar menjadi US$ 2,54 miliar.
Estimasi laba bersih juga dipangkas dari US$ 338 juta menjadi US$ 323 juta. Andy juga memangkas target kinerja keuangan Adaro Energy tahun 2022, seiring dengan penurunan asumsi produksi batu bara perseroan dari 56 juta ton menjadi 52 juta ton dengan perkiraan harga jual US$ 75 per ton. Hal ini membuat perkiraan pendapatan perseroan tahun 2022 direvisi turun dari US$ 3,09 miliar menjadi US$ 2,93 miliar.
Sebaliknya, perkiraan laba bersih direvisi naik dari US$ 348 juta menjadi US$ 362 juta.
Berbagai faktor tersebut mendorong Mirae Asset Sekuritas menaikkan rekomendasi saham ADRO menjadi beli dengan target harga Rp 1.765. Katalis jangka pendek penguatan harga ADRO berasal dari kenaikan harga jual batu bara global.
Di lain pihak, analis Trimegah Sekuritas Hasbie dan Willinoy Sitorus dalam risetnya mengungkapkan, kenaikan rata-rata harga jual batu bara akan menaikkan EBITDA Adaro Energy tahun 2020-2022. Perseroan juga memiliki katalis positif dari cadangan batu bara perseroan dan pengembangan pembangkit listrik. Namun, Hasbie dan Willinoy juga merevisi turun target volume produksi batu bara Adaro Energy tahun 2020 dan 2021 dari masing-masing 55,9 juta ton dan 57,4 juta ton menjadi 54,6 juta ton dan 56,3 juta ton.
![Adaro Energy. Foto: Defrizal](https://img.beritasatu.com/cache/investor/798x449-2/20181211094114836.jpg)
Adapun target volume produksi batu bara perseroan tahun 2022 direvisi naik dari 55,9 juta ton menjadi 57,2 juta ton. Revisi turun target volume produksi tersebut mendorong Hasbie dan Willinoy menurunkan target kinerja keuangan Adaro Energy tahun 2020 dan 2021. Pendapatan tahun 2020 direvisi turun dari US$ 2,87 miliar menjadi US$ 2,68 miliar. Perkiraan laba bersih dipangkas dari US$ 270 juta menjadi US$ 186 juta.
Adapun proyeksi pendapatan perseroan tahun 2021 direvisi naik dari US$ 2,99 miliar menjadi US$ 3,17 miliar, seiring dengan revisi naik target harga jual batu bara. Namun, perkiraan laba bersih diturunkan dari US$ 361 juta menjadi US$ 324 juta. Target pendapatan perseroan tahun 2022 juga direvisi naik US$ 3,01 miliar menjadi US$ 3,13 miliar. Tetapi, perkiraan laba bersih direvisi turun dari US$ 399 juta menjadi US$ 353 juta.
Berbagai faktor tersebut mendorong Trimegah Sekuritas merevisi naik target harga saham ADRO menjadi Rp 1.750 dengan rekomendasi beli. Target tersebut mempertimbangkan prospek batu bara yang kian menjanjikan dalam jangka panjang.
Cash Flow Solid
![PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Foto: Perseroan.](https://img.beritasatu.com/cache/investor/798x449-2/1589721770.jpg)
Hingga kuartal III-2020, Adaro Energy mampu menghasilkan arus kas bebas (free cash flow) yang solid sebesar US$ 482 juta, naik 10% dibandingkan periode sama 2019 yang sebesar US$ 437 juta.
Perseroan terus menerapkan efisiensi operasional dan memperkuat struktur permodalan di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi. Arus kas yang solid membuat posisi keuangan tetap sehat dengan rasio utang bersih terhadap EBITDA operasional 12 bulan terakhir sebesar 0,29 kali, sedangkan rasio utang bersih terhadap ekuitas 0,07 kali.
Hingga akhir September 2020, tingkat likuiditas Adaro Energy tetap tinggi sebesar US$ 1,67 miliar, yang terdiri atas kas US$ 1,18 miliar, investasi lainnya US$ 151 juta, dan komitmen fasilitas pinjaman yang belum terpakai sebesar US$ 326 juta. Utang berbunga mencapai US$ 1,6 miliar atau naik 23% secara tahunan. Nilai itu termasuk surat utang US$ 750 juta yang diterbitkan pada Oktober 2019.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, meskipun dibayangi oleh tantangan ekonomi makro, perseroan masih mempertahankan operasi yang solid.
Kondisi pasar batu bara yang sulit akibat ekonomi global yang masih belum kondusif karena pandemi berkepanjangan terus menekan profitabilitas perusahaan.
“Meskipun ketidakpastian masih ada, model bisnis kami yang terintegrasi memungkinkan perusahaan untuk beroperasi dengan efisien dalam menghadapi tantangan ini,” kata dia dalam keterangan tertulis, belum lama ini. Hingga kuartal III-2020, pendapatan usaha Adaro Energy turun 26% secara tahunan menjadi US$ 1,95 miliar, karena didorong oleh penurunan_average selling price (ASP) dan volume penjualan batu bara, yang masing-masing turun 18% dan 9%.
EBITDA operasional AdaroEnergy tercatat US$ 676 juta hingga kuartal III-2020 atau turun 31% secara tahunan seiring turunnya ASP. Namun, margin EBITDA operasional tetap solid sebesar 34,6% karena perseroan terus meningkatkan efisiensi operasional dan pengendalian biaya di tengah kondisi harga batu bara yang melemah.
Laba inti perseroan tercatat US$ 326 juta hingga kuartal III-2020 atau turun 36% secara tahunan, karena didorong penurunan profitabilitas. Laba inti tidak memasukkan komponen akuntansi non-operasional setelah pajak, yang di antaranya terdiri atas amortisasi property pertambangan, rugi penurunan nilai properti pertambangan, rugi derivatif instrumen keuangan, dan rugi penurunan nilai wajar investasi pada perusahaan patungan.
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily