Larangan ekspor nikel berpeluang mengangkat kinerja emiten logam

4 November 2019 | Sumber: kontan

Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten logam masih tertekan hingga kuartal III 2019. Hal ini terlihat dari kinerja keuangan beberapa emiten.

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) misalnya, mencatat laba bersih Rp 561,19 miliar pada kuartal ketiga 2019 atau turun 11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 631,13 miliar. Meski demikian, penjualan ANTM masih positif atau naik 29,87% menjadi Rp 20,8 triliun.

Begitu pula dengan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang laba bersihnya anjlok menjadi US$ 160.000. Padahal pada kuartal III 2018 INCO mengantongi laba sebesar US$ 55,21 juta. Pendapatan INCO juga turun menjadi US$ 506,46 juta dari sebelumnya US$ 579,6 juta

Nasib lebih parah dialami oleh PT Timah Tbk (TINS). Emiten produsen timah ini harus menanggung rugi Rp 175,78 miliar pada kuartal III 2019. Padahal, pada kuartal III 2018 TINS masih mampu membukukan laba sebesar Rp 407,86 miliar.

Meski demikian, pendapatan TINS tercatat naik menjadi 14,59 triliun atau melesat 114,56% dari periode tahun sebelumnya sebesar Rp 6,8 triliun.

Hal berbeda justru dialami oleh PT Central Omega Resources Tbk (DKFT). Per September 2019, DKFT berhasil membukukan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 14,64 miliar dari yang sebelumnya rugi sebesar Rp 49,47 miliar.

Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai, emiten logam memiliki potensi untuk mencatat kenaikan kinerja pada tahun depan. Sebab, larangan ekspor bijih nikel yang akan dimulai pada awal Januari 2020 ini berpotensi menaikkan harga nikel global.

“Para pemain nikel serta pemerintah telah melakukan antisipasi dengan membangun smelter, sehingga produk yang sudah tidak bisa diekspor tersebut dapat diserap secara domestik ke smelter-smelter yang telah dibangun,” ujar Dessy kepada Kontan.co.id, Senin (4/11).