Menakar dampak diversifikasi usaha terhadap kinerja Bukit Asam (PTBA)

30 September 2020 | Sumber: kontan

Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) saat ini tengah menggarap sejumlah proyek sebagai salah satu upaya diversifikasi usaha nonbatubara. Salah satunya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang Sumsel 8.

“Kemajuan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 per Juni mencapai 43% dan diharapkan beroperasi secara komersial pada kuartal pertama 2022,” ujar Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin saat paparan kinerja yang digelar secara virtual, Rabu (30/9).

Selain itu, PTBA juga akan mulai merambah pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Arviyan mengatakan, PTBA berencana untuk mengembangkan proyek panel surya di lahan tambang yang sudah tidak produktif, salah satunya di Ombilin, Sumatra Barat.

Untuk 100 megawatt panel (MWP), Arviyan mengatakan membutuhkan sebidang tanah setidaknya dengan luas 200 hektare. PTBA pun telah menyanggupi luas lahan ini, tinggal bagaimana tahap pembicaraan dengan Perusahaan Listrik Negara sebagai pembeli listriknya.

Di sisi lain, emiten pelat merah ini juga tengah dalam proses membangun pabrik gasifikasi batubara, yang akan menghasilkan 1,4 juta ton dymethil ether (DME) per tahunnya. Arviyan mengatakan, nantinya output gasifikasi ini akan menjadi pengganti (substitusi) liquefied petroleum gas (LPG) yang selama ini masih diimpor pemerintah.

Debbie Naomi Panjaitan, Research Analyst Phillip Sekuritas Indonesia menilai, dalam hal diversifikasi usaha, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dinilai lebih agresif dibandingkan PTBA. Catatan Kontan.co.id, salah satu proyek diversifikasi ADRO  yang sudah mulai beroperasi secara komersial adalah PLTU Tanjung Power. Selain itu, ADRO juga tengah merampungkan PLTU Bhimasena Power Indonesia.

Namun demikian, proyek pemerintah terkait pengembangan DME yang merupakan bagian dari program hilirisasi dan gasifikasi batubara berkalori rendah sebagai subtitusi LPG akan berdampak pada PTBA ke depan. “Hal ini akan menjadi penopang performa PTBA di tengah lesunya ekspor. Apalagi, dibutuhkan 6 juta ton batubara per tahun untuk menggarap program DME,” ujar Debbie kepada Kontan.co.id, Rabu (30/9).

Adapun menurut Debbie, tujuan pemerintah menggarap proyek ini karena cadangan batubara berkalori rendah yang cukup berlimpah. Sementara itu, berkaca dari tahun lalu, sebanyak 60% penjualan batubara PTBA diserap oleh pasar domestik.

Debbie menilai, dalam jangka pendek PTBA masih prospektif dengan target harga Rp 2.300 dalam 12 bulan ke depan. Selain itu, daya tarik saham emiten pelat merah ini adalah historikal pembagian deviden dengan besaran dividend payout ratio yang cukup signifikan. Pada 2021 mendatang, meski tidak sebesar tahun ini, Phillip Sekuritas Indonesia memperkirakan rasio pembayaran dividen PTBA berada di kisaran 75%-80%.

Pada penutupan perdagangan hari ini, saham PTBA melemah 0,76% ke level Rp 1.970 per saham.