Tertekan Tahun Lalu, Simak Proyeksi Emiten Lahan Industri pada 2022

17 April 2022 | Sumber: kontan

Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tahun 2021 jadi periode yang buruk bagi emiten lahan industri. Pada tahun lalu, kinerja rata-rata emiten dari sektor ini masih lesu. Tengok saja, PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) mengalami penurunan laba bersih dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 714 miliar. 

Sementara emiten kawasan industri lain seperti PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), PT Jababeka Tbk (KIJA), hingga PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST), bahkan masing-masing mencatatkan rugi sepanjang tahun 2021. 

Walaupun tahun lalu kinerjanya tertekan, analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto meyakini sektor ini punya prospek yang lebih baik pada tahun ini. Menurutnya, kondisi ekonomi yang semakin pulih tentu diharapkan dapat menopang kebangkitan kawasan industri. 

Apalagi, dengan proses perizinan yang lebih mudah setelah berlakunya omnibus law diharapkan dapat menarik investor global untuk masuk ke Indonesia. Di saat bersamaan, dengan pembatasan perjalanan yang sudah mulai diperlonggar, maka akan membuat investor global dapat kembali meninjau calon lokasi kawasan industri. 

Pandhu menambahkan, katalis positif yang akan mendongkrak kinerja emiten kawasan industri adalah meningkatnya permintaan pembangunan data centre serta gudang & logistic. Ia menilai, kedua hal tersebut akan menjadi industri yang potensial ke depannya.

“Keduanya saat ini tengah berada dalam tahap pertumbuhan yang kuat. Selain itu, jika melihat dari belanja modal yang dianggarkan untuk kedua sektor tersebut pada tahun 2022 ini rata-rata lebih tinggi daripada 2021,” kata Pandhu ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (15/4).

 

Hanya saja, dia menyebut sektor kawasan industri masih tetap dibayangi beberapa katalis negatif pada tahun ini. Seperti kenaikan suku bunga acuan yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi sehingga mengurangi laju ekspansi industri. 

Selain itu, konflik Ukraina – Rusia yang masih terus berlangsung juga menyebabkan gangguan rantai pasokan, hal ini pada akhirnya membuat harga komoditas dan bahan baku naik sehingga membuat biaya pembangunan akan cenderung lebih tinggi.